Novendri Yusdi ( NY )
Peningkatan tingkat degradasi moral remaja disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pergaulan bebas, proses sosialisasi yang kurang sempurna,pengaruh budaya barat, kurangnya pengawasan dan perhatian orang tua, dan tingkat pendidikan yang rendah.
Degradasi moral remaja merupakan salah satu masalah sosial yang sering terjadi di masyarakat. Terlalu sibuknya pemerintah dengan berbagai masalah Politik dan Ekonomi yang terjadi dalam negeri membuat pemerintah mengesampingkan masalah degradasi moral remaja yang hanya menjadi bagian kecil dari masalah sosial. Akibat kelalaian dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah degradasi moral remaja, sekarang moral remaja mengalami tingkat degradasi yang tinggi.
Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan teknologi terus berkembang pesat. Arus informasi yang datang dari waktu ke waktu menggerus dan menghantam budaya bangsa. Melalui internet, akses informasi menjadi lebih mudah, proses interaksi antar individu dengan latar budaya yang berbeda bisa dilakukan di tempat yang berbeda, serta proses difusi kebudayaan yang mapan pun akan terjadi lebih cepat.
Kekaguman akan kehebatan masyarakat barat yang tampil dengan modernisasinya membuat mainset para generasi menjadi terbuka terhadap budaya barat. Tak ayal jika nilai-nilai yang dianggap luhur dikalangan generasi tua sudah tidak lagi sama dalam pandangan generasi muda. Ide akan kebebasan dan hak asasi manusia menjadi sebuah alasan untuk memberontak dan tidak mematuhi norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Jika penyimpangan-penyimpangan sosial tersebut terus terjadi maka kelak nilai-norma tersebut akan ditinggalkan dan akan muncul nilai baru sebagai penggantinya. Proses penyebaran budaya masyarakat barat tersebut sering disebut dengan westernisasi.
Bila kita mengamati relalita yang terjadi saat ini, banyak sekali generasi muda yang mengalami demoralisasi (degradasi moral), dimana mereka terhanyut dalam romantika modernisasi. Proses pengadopsian budaya barat ini ini telah mengakibatkan terjadinya cultural shock (kegoncangan budaya) dan disfungsionalitas generasi muda yang umumnya berlatarbelakang pelajar dan mahasiswa. Akibanya, tidak sedikit dari mereka yang lupa akan status dan peranannya di dalam masyarakat. Contohnya mahasiwa, sebagian dari mereka yang ada yang terhanyut dalam ilusi modernitas ini yang membuat mereka menjadi lupa untuk memanifestasikan fungsi, status dan perannya sebagai agent of change, agent of control dan iron stock. Mereka sudah terlarut dalam konstruksi sosial yang dibangun para kapitalis melalui empat 4 utamanya, yaitu : food, fun, fashion dan film. Akhinya mereka jadi lebih suka entetaiment (hiburan) dari pada education (pendidikan).
Salah satu contohnya seperti kasus penemuan narkoba disalahsatu universitas ternama di negeri ini, tidak mungkin ada narkoba jika tidak ada yang mengkonsumsinya. Contoh lainnya adalah kasus-kasus aborsi para pelajar yang diakibatkan oleh perilaku seks bebas di kalangan remaja. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian Julianto Witjaksosno (Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) yang menyatakan bahwa jumlah remaja yang melakukan hubungan seksual diluar nikah mengalami peningkatan dimana 46% remaja berusia 15-19 tahun pernah melakukan hubungan seksual. Kemudian data sensus nasional pun mengatakan bahwa 41 – 51 % perempuan hamil adalah remaja.
Selain itu, pada tahun 2008 KOMNAS Perlindungan Anak melakukan penelitian di 17 kota besar di Tanah Air, hasilnya adalah : 62,7% Remaja dari 4.726 responden sudah tidak perawan dan 21,2% mengaku pernah Aborsi. Setelah itu KOMNAS Perlindungan Anak melakukan penelitian serupa mengenai perilaku seks remaja di Tahun 2012, hasilnya lebih mengejutkan lagi dimana “97% dari 4.726 responden, mengatakan pernah menonton pornografi, 93,7% mengaku sudah tak perawan dan 21,26% pernah melakukan aborsi”.
Arist Merdeka Sirait juga menyatakan bahwa dari 3.339 kasus yang dilaporkan kepada Komnas Anak pada 2013, sebanyak 58% merupakan kasus kejahatan seksual. Dari jumlah itu, 16 persen pelakunya merupakan anak-anak.
Beberapa aspek yang dapat menanggulangi degradasi moral remaja.
Yang pertama adalah Aspek pendidikan formal/lingkungan sekolah. Pendidikan yang lebih menekankan kepada bimbingan dan pembinaan perilaku konstruktif, mandiri dan kreatif menjadi faktor penting, karena melatih integritas mental dan moral remaja menuju terbentuknya pribadi yang memiliki daya ketahanan pribadi dan sosial dalam menghadapi benturan-benturan nilai-niai (clash of value) yang berlaku dalam lingkungan remaja itu sendiri berikut lingkungan sosialnya.
Kedua, aspek lingkungan keluarga, jelas memberi andil yang signifikan terhadap berkembangnya pola perilaku menyimpang para remaja, karena proses penanaman nilai-nilai bermula dari dinamika kehidupan dalam keluarga itu sendiri dan akan terus berlangsung sampai remaja dapat menemukan identitas diri dan aktualisasi pribadinya secara utuh. Remaja akan menentukan perilaku sosialnya seiring dengan maraknya perilaku remaja seusianya yang notabene mendapat penerimaan secara utuh oleh kalangannya. Oleh karenanya, peranan orang tua termasuk sanak keluarga lebih dominan di dalam mendidik, membimbing, dan mengawasi serta memberikan perhatian lebih sedini mungkin terhadap perkembangan perilaku remajanya.
Ketiga, aspek lingkungan pergaulan seringkali menuntut dan memaksa remaja harus dapat menerima pola perilaku yang dikembangkan remaja. Hal ini sebagai kompensasi pengakuan keberadaan remaja dalam kelompok. Maka, perlu diciptakan lingkungan pergaulan yang kondusif, agar situasi dan kondisi pergaulan dan hubungan sosial yang saling memberi pengaruh dan nilai-nilai positif bagi aktifitas remaja dapat terwujud.
Keempat, aspek penegakan hukum/sanksi. Ketegasan penerapan sanksi mungkin dapat menjadi shock teraphy (terapi kejut) bagi remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang. Dan ini dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, kepolisian dan lembaga lainnya.
Kelima, aspek sosial kemasyarakat. Terciptanya relasi-relasi sosial yang baik dan serasi di antara warga masyarakat sekitar, akan memberi implikasi terhadap tumbuh dan berkembangnya kontak-kontak sosial yang dinamis, sehingga muncul sikap saling memahami, memperhatikan sekaligus mengawasi tindak perilaku warga terutama remaja di lingkungannya. Hal ini tentu sangat mendukung terjalinnya hubungan dan aktifitas remaja yang terkontrol.